More

    MK: Pencalonan Gibran Sama Sekali Tidak Ada Masalah

    Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa tidak terdapat masalah dalam ketentuan untuk mencalonkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden 2024.

    MK menilai bahwa Gibran memenuhi semua persyaratan yang diperlukan.

    Arief Hidayat, seorang hakim konstitusi, mengungkapkan hal tersebut sebagai tanggapan terhadap argumen yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).

    Mereka berpendapat bahwa pencalonan Gibran tidak sah karena dianggap melanggar etika berdasarkan keputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengizinkannya menjadi cawapres.

    “Arief menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tidak ada masalah dalam pemenuhan syarat tersebut untuk Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dari pihak terkait,” ujar Arief dalam ruang sidang MK pada hari Senin, 22 April 2024.

    Baca Juga : SAH! Gugatan Sengketa Pilpres Anies-Cak Imin & Ganjar-Mahfud Ditolak MK

    Arief menjelaskan bahwa keputusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang mengindikasikan adanya pelanggaran serius terhadap keputusan 90/PUU/XXI/2023 tidak cukup untuk meyakinkan mahkamah bahwa telah terjadi tindakan nepotisme yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan Presiden Joko Widodo dalam mengubah syarat pencalonan cawapres.

    “Proses verifikasi dan penetapan pasangan calon yang dilakukan oleh pihak yang dijadikan termohon telah dinyatakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa ada campur tangan dalam perubahan syarat-syarat pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024,” katanya.

    Bansos Bukan Penyebab Suara Prabowo-Gibran Meroket

    Dalam kesempatan yang sama, Mahkamah Konstitusi (MK) menyimpulkan bahwa tidak ada ketidakberesan dalam alokasi anggaran bantuan sosial menjelang pemilihan presiden.

    MK menyatakan bahwa anggaran bantuan sosial telah dipersiapkan secara cermat oleh pemerintah.

    “Penggunaan anggaran bantuan sosial, terutama anggaran bansos, menurut Mahkamah tidak menunjukkan adanya ketidakwajaran atau pelanggaran terhadap peraturan sebagaimana yang dituduhkan oleh pemohon (Anies-Cak Imin), karena tata kelola anggaran telah diatur dengan jelas mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban,” ujar Hakim MK Arsul Sani dalam sidang di MK, Jakarta Pusat, pada hari Senin (22/4/2024),

    Hakim MK Arsul Sani menyatakan bahwa program bantuan sosial (bansos) telah diatur oleh pemerintah dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.

    MK menyatakan bahwa bansos yang didistribusikan langsung oleh presiden dan menteri merupakan sesuatu yang lazim.

    “Termasuk dalam pelaksanaan anggaran bansos yang disalurkan secara sekaligus (rapel) dan yang langsung disalurkan oleh Presiden dan Menteri adalah bagian dari siklus anggaran yang telah diatur dalam penggunaannya dan pelaksanaannya,” ujarnya.

    Baca Juga : MK Sebut Penyaluran Bansos Bukan Pelanggaran Hukum

    Arsul menjelaskan bahwa menurut prosedur hukum di Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam kasus sengketa pemilihan umum, MK tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki niat pembuatan kebijakan publik.

    Dia menegaskan bahwa MK mengacu pada peraturan perundang-undangan dalam menilai penggunaan anggaran bansos.

    “Oleh karena itu, terkait dengan penggunaan anggaran dan realisasi APBN terkait dengan bantuan sosial atau hal lainnya, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa APBN disahkan melalui undang-undang setiap tahun anggaran, seperti APBN 2024 yang ditetapkan dalam UU 19/2023 tentang APBN Tahun Anggaran 2024,” katanya.

    Selain itu, Arsul menyatakan bahwa dari bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Anies-Cak Imin sebagai pemohon, Mahkamah menemukan bahwa bukti-bukti yang dapat digunakan oleh hakim terkait klaim tentang pengaruh bansos adalah hasil survei dan pendapat ahli.

    MK menyimpulkan bahwa bukti-bukti tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa bansos memiliki pengaruh memaksa terhadap pemilih dalam pemilihan presiden.